Jumat, 25 Juli 2014

MENEMANIMU, MI...



“Selamat pagi, Mi…”, sapaku sambil membawa baki berisi secangkir teh manis untuk  Mami, satu mug teh untukku serta sepiring kue cake pisang yang sudah membuatku menelan air liur dari tadi. “Enak nggak tidurnya semalam ? Mimpi apa, Mi ?” Kuletakkan baki di atas meja riasnya.
            
       Mami memandangku tersenyum kecil, tangannya menggapai ke udara, kuraih kedua tangannya, membantunya duduk. Sambil mendorong tubuhnya untuk duduk, Ia berbisik lirih “Bismillaahir rahmaanir rahiim”.

            Aku menahan tubuhnya agar Ia nyaman, tak bisa kutarik kedua lengannya, karena ketika aku pernah melakukannya, Ia memekik sakit… nyeri pada kedua persendian bahunya. Tuhan…, betapa aku mencintainya … Jangan biarkan kesakitan terus melandanya…, doaku dalam hati.

            “Mimpi kamu, Yan…, masih kecil nari di atas panggung, lucu deh…”, jawab Mami setelah berhasil duduk. Tangannya mulai mengambil serbet makan. Ibuku ini sangat rapi dan bersih. Ritualnya banyak sebelum ia memulai menyantap makanan dan minumannya.

Pertama-tama, setelah Ia berhasil duduk dari posisi berbaringnya, Ia akan menyelipkan guling di bawah paha kanannya agar tubuhnya seimbang. Oestophorosys menyebabkan tulang punggungnya bengkok ke kiri, menekan lambung dan usus besarnya, membuatnya tidak mampu menampung banyak makanan dan sulit untuk buang air kecil dan besar. Guling harus berada di sekitarnya berbaring, agar mudah teraih ketika Ia duduk, yang akan membuat punggungnya terasa nyaman karena posisi tubuhnya sudah sejajar.

            Kedua, setelah nyaman dengan posisinya, Ia akan mengambil serbet makan yang diletakkan di atas tempat tisu di ujung meja riasnya. Tempat strategis untuk meletakkan makanan dan barang lain agar  mudah dijangkau. Baki berisi sarapan paginya itu harus berada di di sana. Dengan gerakan lambat dan lembut Ia mengibaskan serbet makannya lalu  ditebarkan di pangkuannya.

            Ketiga, Ia menyiapkan beberapa lembaran tisu di sebelah kirinya, agar tidak repot bolak balik menarik tisu dari kotaknya. Kemudian, Ia membereskan kantong plastik hitam yang menggantung dan sengaja Ia tempatkan di antara meja rias dengan tepi tempat tidur, itupun agar Ia mudah untuk membuang kotoran apapun ataupun serpihan sisa makanan yang tidak bisa tertelan. Mami memakai gigi palsu hanya untuk berbincang dengan tamu atau bila Ia mengunyah makanan yang renyah atau cukup keras baginya. Seperti kerupuk, kacang-kacangan, daging sapi atau ayam, udang atau nasi kuning dan nasi uduk. Ia masih menyukai jenis makanan itu, walaupun harus lebih lama mengunyahnya. Sedangkan menu tetapnya adalah bubur nasi yang lembut sekali dan lauk yang telah diblender atau diiris lembut. Itu pun dengan porsi yang amat ‘sedikit’.

            Setelah semuanya rapi dan berada di tempat yang benar, Ia memintaku untuk mengucurkan air dari botol aqua yang berjajar rapi di meja riasnya, ke dalam baskom plastik untuk mencuci tangan. Merasa nyaman telah mengerjakan semua ritualnya, maka Mami pun memulai sarapan paginya.

            “Kamu enak ngga tidurnya ? Mimpi apa ?”, tanyanya.

          Kutarik bangku meja rias mendekatinya, dan duduk di hadapannya. “Enak… Yaa… seperti biasa aku baru bisa tidur setelah jam satu malam, itu pun dipaksa, Mi… Kalo ngga, yaa… ngga tidur lagi sampe nanti jam 6…”, jawabku sambil tersenyum. Kebiasaan ‘ngalong’ku ini memang sering menyusahkan, terutama bila aku menginap. Karena idealnya jam tidur manusia kan, dari jam sembilan malam sampai jam setengah lima pagi. Tapi tidak demikian denganku. Tidur malamku dimulai jam tiga dini hari, bangun untuk shalat subuh jam lima, lalu tidur lagi hingga jam sembilan atau sepuluh pagi. “Menyusahkan ya, kamu ini, Yan …”, begitu kakakku berkata melihat kebiasaan tidurku yang ‘ajaib’. Tapi apa boleh buat, duniaku sudah jungkir balik sejak SMP, kok ngga ada yang nyadar, ya?

            Mami meraih kuping cangkir tehnya dengan hati-hati, kubantu sedikit agar cepat mencapai pangkuannya. Lalu aku pun mengambil mug-ku sendiri. Sesaat kami menikmati air teh yang menghangatkan kerongkongan kami, menghirup harum teh, cuping hidung kami mengembang. Nikmaat…

            Kulirik Ibuku dengan sayang. Usianya 83 tahun, sudah sangat lanjut. Dengan rambut pendek ikal beruban dan keriput memenuhi wajahnya, namun aura yang keluar adalah keikhlasan dan ketabahan. Tubuhnya sudah tidak mampu untuk digerakkan. Namun tekadnya masih besar untuk tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Makan dan minum dengan normal. Mandi sekali sehari setiap pagi jam sepuluh, walaupun saking lelahnya duduk di atas kursi plastik dan mengangkat gayung untuk menyiramkan air ke tubuhnya, Ia seringkali bersandar di pinggiran bak mandi, dan menarik napas pendek-pendek. Bronchitis menahun telah menggerogoti paru-paru tuanya. Suster yang merawatnya selalu berjaga menahan berat tubuhnya agar tidak melorot ke lantai kamar mandi. 

Sebetulnya Ibuku sangat menikmati ketika dinginnya air membasahi tubuhnya, namun minggu-minggu terakhir ini tenaganya entah melayang kemana… Napasnya tidak lagi panjang, tangannya tidak lagi kuat mengangkat gayung air, punggungnya tidak lagi tegak menjaga keseimbangannya…

            “Mami cape banget, Teng”, bisiknya lirih pada susternya yang dipanggilnya Uteng. Ketika memakai pakaian pun Ia kerap berkata pelan ,“Mami pengen pulang, kangen sama Papi yang udah duluan… Kapan ya… Mami dijemput ? Mami udah ngga tahan…”

            Kalau sudah begitu, aku, kakak perempuanku dan suster hanya mampu mengucapkan kata-kata yang menghibur dan menyemangatinya untuk bertahan sedikit lagi dan terus beribadah agar Allah mendengar semua harapannya.

            “Mami senang kamu nemenin dan tinggal di sini sekarang. Walaupun ada suster, tapi kan dia hanya sampai jam dua belas siang, terus pulang. Jarang ngajak ngobrol Mami. Kalo malam pun Mami nggak ada yang mengurus dan ngajak ngobrol. Mami kan juga susah tidur. Untung kamu kalo tidur malem, Yan. Jadi ada yang nemenin. Terus, kalo Mami butuh ini butuh itu, kamu cepet dateng ke kamar. Ngga enak kalo panggil Mba, Yan… Dia sudah punya urusan sendiri dengan cateringnya kaan”, kata Mami sambil mengambil sepotong cake pisang yang bikin ngiler itu. Gerakannya lambat dan lembut. “Kuenya enak, siapa yang beli, Yan?”

            “Ooo… itu dari Oom Sam, dari Bandung. Tadi malam ke sini, ketemu mba Mia, mau pesen catering untuk  menikahkan anak laki-lakinya yang kedua, Mi. Itu lho, Rangga, yang kerja di Asuransi. Kebetulan pacarnya Rangga tinggal di Bekasi, jadi nggak sulit kan. Dekat dengan mba Mia. Jadi kalo mau tanya-tanya menu dan harga gampang. Iya Mi, kuenya enak”, kataku sambil mencaplok sepotongan besar cake ke dalam mulut. Hahaha… doyan apa laper… Aku tertawa ketika kulirik Mami, potongan kuenya nyaris utuh, karena Ia mengunyahnya dengan lambat dan lembut.

            “Ha…ha…ha…, Mi…, aku sudah habis satu potong. Kalo begini caranya, Mami baru makan sepotong, aku sudah 4. Ha…ha…ha…”, candaku.

            “Dasar gembul”, olok Ibuku. Ia terkekeh-kekeh… Lalu kami mengobrol panjang lebar. Mendengarkan cerita masa lalu Mami…, karena rupanya memori para manula seusia Ibuku, memang menjadi terbatas hanya pada masa-masa lampau saat mereka masih belia, sehat, segar, kuat dan cantik serta ganteng. Saling pikat, lalu jatuh hati, pendekatan, berkarir, pacaran, ditaksir yang lain, menikah dan menjalani hidup berumah tangga. Mengingat kisah sedih, gembira, tragis, menyesakkan, bangga membuat kami kadang berbisik, tertawa tertahan, malah bisa terbahak-bahak, atau tenggorokan tercekat dan lalu terisak lamaaa sekali.

            Sudah lama sekali Ibuku berharap bisa berkumpul lagi denganku. Untunglah kondisiku saat ini memungkinkan untuk menemaninya di usia renta. Mengurus Beliau, merawatnya dan menemaninya melewati waktu yang terasa lama dan membosankan tentunya karena harus berbaring sepanjang hari di tempat tidur. Tidak bisa dengan mudah berpindah tempat, juga harus selalu dalam keadaan bersih karena mengerjakan shalat lima waktu. Beribadah adalah kegiatan utama Ibuku sehari-hari, walaupun Ia lakukan dengan penuh keterbatasan. Seringkali kudapati Beliau dalam keadaan tertidur dengan mukena melingkari tubuh bagian atasnya. Ia sering meminta untuk dibangunkan agar Ia tahu shalat apa sebetulnya yang sedang Ia kerjakan. Tapi aku, kakakku atau susternya akan membiarkannya tertidur sesiang itu, karena Ia bisa semalaman terjaga.

            Kakakku tidak setelaten aku menemani Mami. Dia cepat emosi bila Mami bertanya sesuatu yang dia pikir seharusnya Beliau sudah mengerti jawabannya. Atau kakakku pikir sebaiknya Mami tidak membahas hal-hal yang bagi kakakku membuatnya ‘ribet’. Padahal, ibuku sering bilang padaku, Ia ingin terus mengikuti berita terakhir yang beredar di luar pintu kamarnya. Agar Ia tidak bosan dan tetap merasa ‘hidup’. Tapi memang ada benarnya kakakku, mengobrol dengannya  membutuhkan waktu dan konsentrasi, karena Ia tidak dapat langsung menanggapi apa yang diceritakan. Bahkan kami hampir selalu mengulang kembali cerita-cerita itu beberapa kali. 

            Rupanya bagi kakakku sekeluarga, kesabaran dan ketenanganku mampu mengatasi keterbatasan Ibuku. Sehingga Ia juga nyaman berlama-lama mengobrol denganku dan bahkan mengeluarkan semua harta benda pusaka nenek moyangnya padaku, berupa foto-foto jadulnya yang amat menarik bagiku… foto hitam putih dengan gaya klasik mereka, para pendahulu… Rata-rata mereka berfoto di studio, berdandan rapi lalu bergaya di depan kamera. Membandingkan dengan sekarang yang demikian mudahnya mengambil gambar di manapun berada… Dari bangun tidur, ketika nyawa belum kumpul, sampai sudah rapi dengan seragam sekolah, baju kerja ataupun gaun pesta… Hahaha… Luar biasa teknologi…. Ibuku terbengong-bengong ketika aku atau kakakku mengambil gambar Beliau dengan ponsel di atas pembaringannya dengan masih mengenakkan daster… Bisikan protes terdengar dari mulutnya. Dan kami tertawa-tawa saja sambil terus mengambil gambarnya…

            Untuk mengasah ingatannya, Ia sering memintaku untuk memandu atau membetulkan bacaan surat-surat pendek dari Juz’amma. Rupanya ingatannya masih cukup kuat untuk ukuran usianya. Bahkan beberapa surat panjang masih dilafalkannya dengan mudah tanpa jeda ! Aku saja belum sempat menghafal surat-surat itu… Hahaha… Susah nempel di ingatan… Lalu kami berdua juga sering sama-sama berdoa dan mengingat dzikir dan wirid yang sering kami lafalkan kapan pun ada kesempatan. Karena hubungan kami sangat dekat. Dulu ketika masih berusia lima puluh tahunan, saat Ia masih bisa pergi mengaji, sepulangnya dari masjid, biasanya beberapa ‘ilmu’ yang didapatnya hari itu didiskusikan denganku dan kami sama-sama mengamalkannya. Apakah itu doa-doa versi terbaru, dzikir dan wirid meminta rizki dan jodoh (itu buatku, hihihi), puasa di bulan ini dan itu dengan pahala sebesar ini dan itu, ataupun shalat-shalat sunat yang banyaaakk.. Saat itu, dalam sehari Ia bisa menjalankan shalat 45 rakaat ! Ckckck… bahkan sekarang pun, aku belum secanggih itu rasanya… Hahaha…

            Menemaninya di usia renta sudah sangat kuharapkan bisa kulakukan bertahun lalu. Namun ketika itu aku masih bersuami sehingga untuk bersamanya setiap waktu, berhari-hari lamanya pastilah tidak mungkin. Aku diuntungkan dengan status baruku sebagai single. Aku sangat menikmati saat-saat ini. Bercanda, tertawa, sesenggukan, terisak, marah-marah kecil, merajuk… kembali bersama Mami. Aku merasa waktunya tidak lama lagi. Menyesakkan bagiku, sangat. Itulah sebabnya kusediakan waktu dan diriku untuk bersamanya.

            Minggu itu Ibuku sakit flu dan sembelit. Sakit flu yang bagi kita, orang-orang yang lebih muda darinya tidaklah berat, tidak demikian dengannya. Ia kelihatan sangat sulit bernafas, bertumpuk-tumpuk bantal menyangga tubuhnya, agar memudahkannya  bernafas. Batuknya berat dan berdahak. Harus mengumpulkan tenaga maksimal dari tubuhnya yang renta bahkan hanya untuk batuk ! Kakakku segera membawanya ke dokter keluarga kami. Segera saja kami mengetahui fakta-fakta yang menyesakkan hati tentang kondisi kesehatan beliau. Paru-parunya telah banyak berlubang karena bronchitis yang diidapnya. Fungsi jantungnya kronis, lambungnya mengecil, ginjalnya hampir tidak berfungsi lagi, fungsi hati dalam kondisi mengkhawatirkan. Secara keseluruhan sesungguhnya Mami tidak lagi dalam keadaan sehat, tentunya diukur untuk orang seusia Beliau. 

            Kami semua shock dan sangat khawatir. Berapa lama lagikah ?

            Dokter tidak berani memberikan obat yang bagi kami orang muda  tidaklah terlalu berarti efeknya untuk organ tubuh. Tapi tidak begitu dengannya, bila dokter memberikan obat pilek yang ‘sedang’, pinggangmya bisa nyeri hebat karena ginjalnya bekerja keras. Kebayang ngga, sih ? Atau obat batuk paten yang ampuh bagi kami, akan membuat beliau tertidur dalam waktu lamaaa sekali dan sulit membuka mata. Akibatnya Ia tidak bisa makan atau minum, dan pastinya akan membuat keadaan bertambah parah. Fuih... Untungnya dokter bersedia dipanggil bila terjadi sesuatu pada Mami. Dipilih obat flu dan batuk yang sangat ringan, bila terjadi diare atau sembelit karena efek obat atau keadaan lainnya, kami harus segera menghubungi dokter kami itu. Karena kalau tidak …

            Selama seminggu- hampir dua minggu, aku menjadi suster handal untuknya. Dengan diare dan sembelit sekaligus yang amat merepotkan, karena saking bersihnya, Mami melakukan kegiatan bersih-bersih sendiri. Yang tahulah akibatnya… keadaan justru sebaliknya ! Apalagi kelelahan karena obat tidur dan sesak napas. Alhasil, aku merangkap jadi petugas kebersihan selama beberapa hari… Kadang Beliau jadi ngga enak hati dan malu, tapi kujelaskan bahwa ini sudah menjadi tugasku untuknya. Duulluu… aku yang dirawat, dimandikan dan disayang olehnya. Sekarang inilah saatnya aku mengabdikan diriku untuknya. Hilang sudah rasa jijik dan mual, lenyap pula bebauan yang menyengat… Terbayang di mataku kasih sayangnya  padaku selama hidupnya… Sering Ia mencoba menghitung pahalaku karena merawatnya, kubilang padanya, bahwa apa yang kulakukan tidak ada seujung jaripun dari apa yang telah Ia lakukan seumur hidupnya untukku ! Tak bisa kubayangkan seberapa tinggi, lebar dan dalam ukuran yang cukup untuk menggambarkan kasih sayang dan cinta seorang Ibu pada anaknya… 

Rasanya hari-hari ini tidak cukup bagiku untuk melimpahkan apa yang kurasa, menumpahkan apa yang kusimpan… Waktunya tinggal sedikit ! Apalagikah yang bisa kulakukan ?

Namun Tuhan menunjukkan kuasaNya. Aku tak diberi kesempatan untuk lebih lama bersamanya. Sebulan sebelum kepergiannya, aku harus pergi dari rumah kakakku, yang artinya aku harus berpisah darinya  dan tak tahu kapan bisa melihatnya lagi. 

Dan benar saja, sebulan setelah  kepergianku, Mami  berpulang ke Rahmatullah. Air mataku serasa seperti basa-basi, karena kepedihan yang tidak tertahankan. Tapi aku sempat menemaninya sesaat sebelum Ia menghembuskan napas terakhirnya. Saudara-saudaraku bergumam, “Mami nunggu kamu, Yan…”

Hatiku terasa membeku dan kebal… Tidak dapat merasakan apapun. Dunia terasa sempit namun luas secara bersamaan. Pikiranku buntu. Aku bernapas tapi tidak dapat merasakan detak jantungku sendiri! Seakan perasaanku terkotakkan dalam waktu. Diam, beku dan dingin.

Selamat jalan, Mi… Aku menghormatimu, menghargaimu, menyayangimu… Andai aku bisa menguraikan semua emosi untuk kutitipkan pada malaikat yang menjemputmu…. Andai aku bisa mengulur waktu lebih lama agar bisa kuceritakan isi hatiku padamu, Mi… Andai aku bisa ikut bersamamu dan mengabdikan hidupku untukmu tanpa ada orang lain di sekitar kita …. Andai…. Mi…

Aku mohon maaf atas semua perbuatanku yang mungkin membuatmu marah…, kesal… dan tidak tahan denganku … Aku mohon maaf atas segala keterbatasanku yang membuatku tak dapat menyediakan waktu dan kasihku untuk bisa bersamamu… Aku mohon maaf atas kemarahanku pada situasi antara kita dengan orang-orang sekitar…. Miii ….. Aku mohon maaaaaff…

Huhuhu…. Aku hanya manusia biasa… yang sering tak bisa berbuat banyak untukmu… Maafkan, aku Mi…. Kulepas kepergiannya dengan airmata yang terasa tertelan ke tenggorokan. Tak ada kata-kata yang keluar yang bisa mengungkapkan rasaku hari itu… Selamat jalan, Ibu… Mami… Berbahagialah… Karena sebentar lagi Papi akan ada bersamamu, menemanimu dan membahagiakanmu di sana… Selamat jalan, Mi…  Jemput aku ketika kau ingin aku ada bersamamu… Jangan lupakan anakmu, Mi…. Selamat jalan…. Semoga Allah akan selalu melindungimu … dan memberimu tempat yang terindah di samping Papi di sana…. Aamiin.

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...