Dulu,
semasa masih kecil, membaca artikel di sebuah majalah wanita dewasa yang
headlinenya berbunyi : Life Begin at 40 ! ; saya sama sekali ngga paham apa artinya. Hehehe…
wong masih piyik, 10 tahun ! Ya, iyalah … Lalu, pada waktu usia 39 di hari
terakhir menjelang 40 tahun, saya betul-betul ngga kebayang apa akan yang
terjadi setelah itu. Lumayan deg-degan, seakan saya menunggu
detik-detik tahun baru, atau pengumuman lulus SMA atau diterima kerja. Akhirnya
berdentang jugalah (ngga ada suara sebetulnya karena lihatnya di hape) pukul
00.00, saya genap 40 tahun ! Ketika kemudian detik bergulir saya cubit lengan, kok ngga
terasa sesuatu yang special ? Bed time ! Maka tidurlah saya…
Esoknya, entah
karena sudah menanti-nanti usia 40 di sepanjang umur 39 atau sugesti akan
terjadi sesuatu, rasanya beda banget hari pertama di usia 40-an…
Di hari itu, seperti sedang menonton film di bioskop, di depan saya terpampang perjalanan hidup sejak saya
mulai mengerti ucapan ibu hingga hari kemarin. Berikutnya saya sesenggukan.
Berbaur rasa yang timbul : bersyukur, menyesal, meratap, bahagia, puas,
bersedih, dll.
LIFE BEGIN AT 40 !
Ketika
tubuh berubah lebih renta (rasanya), dan iman mulai membentuk bulatan yang kian lengkap, (walaupun ngga tahu kapan lengkap benerannya) wawasan tentang hidup dan lingkungan makin dalam… Usia 40 tahun memberi
efek berbeda di hari-hari esoknya.
Mengalir
begitu saja pemahaman tentang ibadah yang memang biasa saya kerjakan. Terasa
kurang sempurna, kurang kokoh, kurang cinta pada Allah, kurang bekal menuju
padaNya. Lalu yang muncul di kepala adalah : harus ada pembenahan dalam
beribadah. Ada gema yang terus berulang di telinga hati, bahwa tak lama lagilah hidup
ini berjalan, bersiaplah menyiapkan bekal, karena perjalanan setelah nyawa
dijemput lebih panjang dari di bumi. Siapkan diri selalu untuk bertemu ajal
yang takkan terduga datangnya. Penuhilah pundi-pundi amal dan perbaiki ibadah.
Kepala
saya terus mengupas lembaran demi lembaran hidup selanjutnya. Mungkin saya masih diberi kesempatan berumur hingga 45
tahun, atau 55 tahun, atau 65 tahun. Akan menjadi apakah saya di tahun-tahun itu ?
Saya berharap dapat menjalankan ibadah dengan baik dan terus memohon padaNya agar disempurnakan ibadah saya
setiap harinya.
Kenapa
saya memilih beribadah dengan baik dan benar menurut ketentuan Al Qur’an dan haddist
untuk mengisi hari-hari hingga ajal menjemput ? Awalnya ini seperti panggilan
hati saja, bukan ingin terlihat lebih taat atau lebih muslimah. Ternyata ibadah
dalam prakteknya mencakup banyak segi hidup. Bekerja merupakan ibadah karena
kita sedang berusaha mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga akan sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan rohani dan jasmani-dunia dan akhirat. Bersilaturahmi juga
salah satu bentuk ibadah, yang bahasa sekarangnya, bersosialisasi.
Memperpanjang silaturahmi dapat menyehatkan jasmani dan rohani, karena kita
kerap berkata baik, berhubungan baik, berbuat baik yang semuanya positif.
Memasukkan
unsur positif dalam pikiran, hati dan bawah sadar kita akan membuat hidup lebih
berarti dan sehat. Berolahraga juga pangkal ibadah, karena otot dan persendian
terus terlatih hingga usia lanjut yang akan membuat seluruh tubuh luwes dalam
menjalankan shalat dan berpuasa. Seluruh organ tubuh in syaa Allah terpelihara,
karena berolahraga meregangkan otot-otot yang kaku dan membersihkan pembuluh
darah dari bakteri ataupun lemak yang terkumpul sejak muda.
Bersedekah
membuat kita selalu menjaga hati dan perbuatan dalam berhubungan dengan kaum duafa dan anak-anak yatim. Membesarkan hati dan membuka wawasan agar selalu menerima mereka
sebagai bagian dari masyarakat dan selalu bersedia membantu bila mereka
membutuhkan. Senantiasa menyadari bahwa Allah memberikan takdir buruk dan
baik pada setiap umatNya, yang telah IA atur dalam lauhil mahfudz. Sebagai
manusia kita harus selalu mawas diri, agar tidak melulu melihat ke atas, namun
melihat jugalah ke bawah. Karena perjalanan hidup tidak selalu berada di atas,
bila tertulis takdir buruk pada tahun sekian, bulan sekian dan tanggal sekian pada kita, akan siapkah kita ? Apakah kita akan menghujat
Allah akan keperihan, kemiskinan, kesedihan, kesakitan yang kita alami bila
kita tidak menyadari sejak awal bahwa kita hanya wayang ?
Menuntut
ilmu adalah sebagian dari iman. Karena dalam Al Qur’an, beberapa kali Allah
mengawali surat dengan menyebut, “Wahai orang-orang yang berpikir…”.
Di sini
amat jelas Allah menerangkan bahwa orang yang beriman adalah orang yang
berpikir, yang mampu mengolah akal ketika menghadapi berbagai persoalan atau
teka teki kehidupan. Dapat membaca firman Allah dengan kepala yang dingin
dan dalamnya hati, sehingga ilmu itu dapat bermanfaat ketika diamalkan, dan
menghindari mudharat belakang hari. Mengamalkan ilmu bukan saja untuk
kepentingan pribadi atau golongan, sebaiknya untuk kepentingan masyarat luas.
Tidak mudah, tapi mengamalkan satu kalimat dalam Al Qur’an dalam satu hari
berarti menyebarkan kebajikan di sepanjang hari itu.
Menjaga
kebersihan adalah juga bentuk ibadah. Seperti yang terjadi di 10 tahun terakhir
ini, banjir selalu mampir di hampir semua kota besar di pulau Jawa dan beberapa
kota di pulau lainnya. Padahal saya tahu, kita semua menjalankan ibadah shalat
dengan baik, berpuasa dengan tertib serta beramal sedekah dengan benar. Namun
rasanya kebersihan seperti sebuah bayangan saja, hanya di bibir saja. Karena
kenyataannya, membuang sampah sembarangan menjadi kebiasaan yang tak
terhindarkan. Apakah ia memakai kerudung atau berkopiah, apakah ia pejalan kaki
atau mengendarai mobil mewah. Tidak ada bedanya. Kemana perginya kesadaran akan
lingkungan ? Apakah kita pernah membahas berapa biaya mengangkut sampah yang
bertumpuk di bantaran kali atau di pintu air ? Pemerintah sudah menggelontorkan
biaya yang tidak sedikit untuk itu. Tapi lucunya, kita malah membanggakan
kebersihan dan ketertiban negara asing yang kita kunjungi ketika libur lebaran,
betapa bersihnya, betapa indahnya, betapa tertibnya. Marilah kita bertanya, ada
di mana kita selama ini ? Apakah kita sudah berbicara tentang kebersihan ?
Apakah kita sudah berupaya memelihara tanah ini agar tetap bisa digunakan untuk
anak cucu kita kelak ? Apakah kita mempedulikan orang lain yang juga
menggunakan sungai yang sama, jalanan yang sama, saluran air yang sama, udara
yang sama… Kebersihan adalah sebagian dari iman. Tidak hanya tubuh kita yang
terpelihara, namun lingkungan sekitar, yang merupakan bagian terkecil dari
negara ini, selayaknya mendapatkan perhatian dan tindakan kita.
Ternyata, setelah diurut, dihitung panjang lebarnya… ibadah itu sangat luas. Masih
banyak aspek hidup yang belum terbahas karena demikian luasnya pelaksanaan ibadah
itu. Saya tersenyum dalam hati. Semoga dapat memanfaatkan sisa hidup saya
untuk beribadah dengan baik dan benar sesuai ketentuan Al Qur’an dan haddist.
Tidak melebihkan dan tidak menguranginya. Pas saja, proporsional. Beribadah
lahir bathin dunia akhirat adalah tujuan hidup saya selanjutnya. Bahagia
rasanya mempunyai tujuan itu. Dan bisa saya praktekan perlahan dan terencana.
Mudah-mudahan saya bisa memenuhi tabungan saya, menyiapkan segala bekal untuk
menempuh perjalanan nanti setelah ajal menjemput. Aamiin…
Terakhir,
manusia tetap harus terus berusaha, namun Allah jualah yang menentukan. Begitu
banyak rencana yang ingin diwujudkan, namun keberhasilannya bergantung pada
niat kita dan kemampuan yang dimiliki. Sebaiknya kita tetap merendah hati dan
selalu berharap bahwa apa yang kita rencanakan mendapat berkah dari Nya dan dapat
diterima oleh Nya. Semoga apa yang saya perbuat dapat bermanfaat bagi diri
sendiri, keluarga, kerabat, teman, lingkungan, dan agama . Aamiin…
Artikel ini diikutsertakan pada Give Away Seminggu Road to 64