Rabu, 30 Juli 2014

KICK ANDY, BELAJAR DARI MASA LALU





Pada hari Rabu, tanggal 23 Juli 2014, saya diajak mba Ani Berta ikut acara Kick Andy di Metro TV, sebuah reality show yang selalu menarik untuk dilihat karena banyak menginspirasi penontonnya. Makanya ketika diajak mba Ani untuk menonton, tanpa ragu langsung saya jawab : Mau !  Bersama saya ada Alfan Renata, Dimas dan Edrida. Thema acara kali ini adalah ‘Belajar Dari Masa Lalu’, mengangkat kisah keberhasilan orang-orang pada usaha yang digelutinya sekarang yang hampir tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang ditempuh.


Sewaktu kecil, kita biasanya ditanya, “Mau jadi apa kalo besar nanti ?”. Jawabannya seru dan beragam, hari ini mau jadi presiden, sejam kemudian jadi tentara, besoknya jadi pramugari… Macem-macem, dan orang tua kita dengan sabar terus bertanya dan bertanya lagi. Sudah begitu, kitanya tetap menjawab juga dengan jawaban yang berbeda tiap kalinya. Hahahaha….


Andy F. Noya membawakan thema ini dengan gaya kocaknya,  tapi  pertanyaannya  dalem ke  para  narasumber.  Pertanyaan   yang  mampu   membawa  penonton   membayangkan kesulitan   dan tantangan  mereka  sejak  masa  sekolah hingga sukses saat ini. Andy dapat menggiring  penonton  menguras  air mata, mendesah  kagum  dan bertepuk tangan penuh semangat.

Walaupun para narasumber berhasil meraih gelar sarjana, namun dalam perjalanannya minat dan bakatlah yang mengantar mereka pada usaha yang lebih berhasil dan mengokohkan kepercayaan diri mereka. Faktor kepepet juga salah satu kunci mereka memulai usaha, kepepet karena kebutuhan keluarga yang menjepit, kepepet karena gengsi mereka tergelitik, karir mereka mentok biasanya. Atau kepepet karena modal dan fasilitas yang tersedia memaksa mereka memilih usaha yang sama sekali berbeda dengan ilmu yang dipelajari padahal mereka lulus dengan nilai yang oke banget.   


Pak Asstro, singkatan dari Asep Stroberi, adalah seorang guru Seni Rupa yang nyasar jadi pengusaha kuliner. Ia berbakat di bidang seni, memilih jadi guru karena permintaan orang tua. Namun dalam perjalanannya, ia malah sibuk mengurus lahan stroberi dan berhasil membuat rumah makan yang bahan dasar sebagian masakannya dari buah stroberi. Kebetulan stroberi memang sedang populer di masyarakat, sehingga memudahkan pak Asep untuk berdagang. Nasi liwet jaman sekolah menjadi andalan utamanya. Laris manis tanjung kimpul, dagangan habis duitnya kumpul. Tangannya yang dingin dalam berkebun membuat kebun stroberinya banyak dikunjungi konsumen. Strategi marketing dan survey pasar yang tepat menjadikan mesin cash register rumah makannya terus bergesek. Sekarang ia memiliki 7 rumah makan stroberi di wilayah Jawa Barat. Sukses ya, pak… Kami, para penonton, mendapat beraneka dodol dari stroberi, juga rupa-rupa merchandise stroberi bagi pemenang door prize. Dodol stroberinya enak, dan jadi penasaran dengan nasi liwetnya yang terkenal itu… Layak dicoba nih…


Narasumber berikutnya adalah Didit Maulana, seorang arsitek yang ujungnya jadi fashion designer untuk tenun ikatnya. Ia melabeli produknya dengan nama ‘Ikat’. Kepepet karena pekerjaannya sebagai arsitek kurang menantang baginya, ia banting stir menjadi fashion designer yang memang sudah digelutinya sejak jaman kuliah. Dengan uang hasil berdagang dan mendesain baju dan kaos, ia bisa membiayai kuliahnya sendiri hingga lulus. Kenapa memilih tenun ikat ? Sebuah pilihan yang jitu, karena pasar telah dipenuhi oleh batik, bila ia mengolah bahan yang sama maka potongan kue yang ia dapat hanya sedikit. Walaupun tenun ikat sudah dikenal sejak jaman rekiplik, tetapi belum ada yang mengangkat tekstil tradisional ini menjadi trend setter di pasar fashion Indonesia ataupun manca negara. Peluang inilah yang dilihat oleh Didit. Ejekan dan cibiran ngga usah ditanya, arsitek kok mendesain baju…, begitu banyak orang mengomentari. Namun Didit jalan terus, dia merasa nyaman di bidang ini, dan yakin bakal sukses. Ketekunan dan kerja keras menggiringnya pada tujuan yang hendak diraihnya. Kini tenun ikat tidak lagi terbatas dikenakan pada pesta adat saja, dengan sasaran orang tua. Ia merancang tenun ikatnya agar cocok dikenakan di berbagai acara untuk segala usia. Desain yang lebih kasual menarik minat orang muda yang memang menjadi sasarannya, sehingga penjualannya terus meningkat. Panggilan untuk ikut meramaikan fashion kelas dunia mulai berdatangan. Ditunjang dengan kejeliannya melihat peluang pasar, menempatkan ‘Ikat’ cepat tertanam di benak konsumen dalam dan luar negeri. Harga yang selangit tidak menurunkan minat masyarakat untuk mengkoleksinya. Di akhir wawancara, Andy mendapatkan selembar selendang tenun ikat yang istimewa dari Didit yang langsung mengalungkannya di leher Andy.


Nara sumber selanjutnya adalah seorang pengusaha dekorasi yang latar belakang pendidikannya adalah sarjana teknik elektro Canada, Feliyanto. Jauh yaa, nyeberangnya… Ini juga faktor kepepet. Harus cari duit dan kerja karena ngga enak hati pada orangtua, membuatnya segera memulai  usaha. Namun itu tidak berjalan lama, karena rupanya ia ditawari untuk mengambil alih butik temannya yang menjual tas, syal, baju atau sepatu bermerk. Usahanya berjalan lancar karena kepiawaiannya mendesain ulang barang dagangannya. Tak disangka nasib mengenalkannya dengan bidang dekorasi yang meluas menjadi wedding planner yang tak terbayangkan sebelumnya. Berrmodalkan insting dagang dibarengi dengan kemampuan mendekorasi ruangan yang gape, membuatnya dipercaya kalangan atas untuk menjadi organizer pada berbagai perhelatan. Dari acara dinner di rumahan hingga mendekor Istana Negara dilakukannya, Jiwa seni yang tinggi dan kreativitas membuahkan hasil karya yang ciamik. Ini diperlihatkan olehnya ketika mengatur meja makan untuk 2 orang yang elegant sekaligus romantis di atas panggung. Permainan cahaya dan pernak-pernik di atas meja memberikan aura istimewa bagi pasangan yang duduk di sana. Tidak perlu mahal, dengan sedikit sentuhan meja makan yang semula polos berubah menjadi sebuah jamuan istimewa nan memukau. Penonton Kick Andy berdecak kagum melihat hasilnya. Terakhir, ia membagikan bunga mawar yang indah sebagai door prize untuk para penonton.


Jadi walaupun latar belakang pendidikan kita amat berbeda dengan minat dan bakat, jangan urungkan langkah untuk berusaha, biasanya mengerjakan sesuatu sesuai dengan kata hati akan membuahkan hasil gemilang. Hati pun nyaman dan senang dengan pekerjaan yang ditekuni. Pendapatan yang diperoleh pun menjadi maksimal.  

Jumat, 25 Juli 2014

BERIBADAH DI MESJID TAK BERKUBAH



Telah setahun ini sesekali bila ada kesempatan aku beribadah di mesjid tak berkubah. Mesjid  seperti apakah itu ? Di Kalibata City Apartemen ada sebuah mesjid yang berada di basement. Mesjid Nurullah ini dapat menampung 900 orang di dalamnya dan sekitar 300 orang di terasnya. Karena mesjid ini berada di bawah pelataran parkir, maka ia tak berkubah. 
 
 
Mesjid Nurullah di Kalibata City Apartemen

 
Terbatasnya lahan di apartemen tersebut tidak menghalangi berdirinya sebuah mesjid di bawah pelataran parkir. Kubah mesjid yang megah berada di dasar hati para penghuni apartemen Kalibata City, dan suara merdu kumandang azan selalu menggetarkan kalbu mereka. In syaa Allah…

Menyongsong Surya



       Sherly, seorang wanita berparas cantik dan berpenampilan menarik. Ia adalah seorang art director pada sebuah perusahaan iklan ibukota. Otaknya cemerlang, banyak yang mengagumi hasil karyanya dan banyak pula pria yang tertarik padanya. Ia seorang perempuan single dengan satu anak lelaki berusia 19 tahun. Gandhi namanya, seorang remaja ganteng berkulit terang dengan sorot mata yang cerdas.


      Sherly tidak pernah menikah. Dulu dalam sebuah pesta remaja selepas SMA, ia dihamili oleh pacarnya, Dery, setelah diberi suntikan ‘surga’ yang membuatnya teler dan menyerah saja ketika Dery melakukan perbuatan bejatnya. Ketika ia hamil, Dery sama sekali tidak mau tahu dan tak peduli pula pada kepanikan yang menyerang Sherly.


        Sebetulnya Sherly adalah gadis berpotensi, tapi sayangnya ia terbuai oleh bujuk rayu Dery hanya karena lelaki itu menjadi pujaan banyak gadis-gadis di sekolah. Menjadi pacarnya membuat Sherly merasa melambung. Sangat mudah bagi Dery untuk membawa Sherly ke dalam dunianya. Dery memperkenalkannya pada obat-obatan, dan kehidupan yang nikmat namun semu. Hingga kemudian Dery menghamilinya dan nasi telah menjadi bubur.


      Sejak kecil Gandy kerap menanyakan pada Sherly, siapakah ayahnya, yang tidak pernah mau diungkapkannya pada anaknya. Ini membuat Gandy sangat penasaran akan sosok ayahnya. Namun Sherly bersikeras tidak memberitahukan siapa nama dan di mana tinggal ayah biologisnya tersebut.


      Dan kemudian Gandy pun beranjak dewasa. Ia menjadi pujaan teman-teman wanitanya di kampus. Sherly memberikan kebebasan pada Gandy untuk melewati masa remaja seperti layaknya remaja yang tumbuh dan berkembang namun tidak seperti dirinya dulu, ia menerapkan disiplin yang tinggi. 


***

      Pada suatu malam di sebuah rumah makan, salah seorang Client-nya, Hendra, yang adalah seorang pengusaha travel agent, melamarnya. Mereka telah menjalin hubungan dekat selama 2 tahun, Hendra adalah seorang duda dengan 2 putri yang telah beranjak dewasa. Tapi, tidak sekalipun Sherly memberitahukan pada Gandy hubungannya dengan Hendra. Karena beberapa kali Gandy menunjukan sikap menentang bila Sherly memperkenalkannya pada pria yang sedang dekat dengannya.


       Namun rupanya tidak untuk kali ini, Sherly merasa sangat nyaman berdampingan dengan Hendra dan yakin bahwa Hendra sangat bisa diandalkan untuk  menjadi suami dan ayah yang baik bagi Gandy. Oleh sebab itu Sherly menerima lamaran tersebut dan berjanji untuk segera memberitahukan rencana pernikahan  ini pada Gandy.


     Gandy terkejut ketika bundanya mengutarakan maksudnya malam itu. Awalnya pembicaraan berlangsung tenang, namun Gandy bertanya kenapa Sherly tidak mau mencari ayah kandungnya dan menikah saja dengannya. Jangan pada lelaki yang bukan ayahnya kandungnya. Dalam bayangannya, ayahnya adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab dan tentunya paling tepat untuk menjadi ayah dan suami yang baik untuk bundanya. Sherly tidak dapat menjelaskan mengapa hal itu tidak mungkin terjadi. Seandainya Gandy tahu apa dan bagaimana Dery sesungguhnya. Akhirnya terjadi pertengkaran hebat malam itu dan Gandy pergi menginap di rumah temannya, Reno.


        Reno bukan teman dekat Gandy, tapi karena mereka kebetulan satu kelompok di salah satu tugas mata kuliah di kampusnya dalam beberapa minggu ini, membuat Gandy kerap datang ke rumah Reno. Beberapa hari ini Reno mengajak Gandy ikut dengannya untuk menikmati kehidupan malam. Alih-alih agar Gandy dapat melupakan masalahnya. Gandy menerima tawaran tersebut. Gandy tak menyadari bahwa sesungguhnya Reno telah lama mengincar Gandy untuk mencoba narkoba darinya. Tujuannya tentu agar Gandy menjadi pecandu karena dianggapnya Gandy adalah pembeli potensial, ia tidak pernah kekurangan uang, memakai barang-barang bermerk, dan pergi kuliah dengan mengendarai mobil mewah. Tanpa sadar bahwa dirinya tengah diperdaya, iapun larut pada pesta-pesta malam dengan teman-teman barunya. Perlahan, hasutan Reno mulai mempengaruhi Gandy.


***

     Di rumah, Gandy kerap bertengkar dengan ibunya tentang apa saja. Yang kemudian selalu berujung pada penolakannya terhadap niat ibunya untuk menikah dengan Hendra. Sherly merasa heran, selama ini Gandy tidak pernah bersikap demikian kurang ajar padanya. Bukankah ia selalu mengajari Gandy budi pekerti dan sopan santun ?


      Dari hari ke hari kelakuan Gandy makin menjadi. Sekarang ia selalu kekurangan uang saku. Padahal Sherly memberinya cukup uang, bahkan bisa dibilang berlebih. Selama ini tidak pernah sekalipun Gandy meminta uang tambahan darinya. Fisik Gandy pun berubah, matanya tampak kuyu seperti kurang tidur, tubuhnya mengecil dan lusuh. Mulai malas pergi kuliah dan pulang pagi setiap hari. Sherly sangat khawatir pada perubahan anaknya itu. Karena gejalanya mirip seperti yang pernah terjadi pada dirinya dulu ketika ia masih mengkonsumsi narkoba.


        Ia sungguh gundah dan sering menangis diam-diam. Ia ngeri membayangkan apa yang mungkin telah menimpa Gandy, ia merasa yakin tentang sesuatu yang menimpa Gandy akhir-akhir ini. Tapi Ia tidak mau tinggal diam. Segera ia menghubungi teman-teman Gandy yang sering datang ke rumah dan mengorek informasi dari mereka. Ia terkejut ketika tahu bahwa sudah beberapa bulan ini Gandy hampir tidak pernah kuliah. Dia bahkan menarik diri dari kawan-kawannya. Tak bisa dihubungi dan juga tak membalas satupun telepon mereka.


       Sherly makin yakin dan menyadari sepenuhnya bahwa apa yang ia takutkan sedang terjadi. Ia pun menghubungi Hendra, menceritakan masalah yang menimpa Gandy dan mengharapkan bantuannya. Ia sangat membutuhkan Hendra di saat-saat seperti ini, karena kehadirannya mampu menguatkan fisik dan mentalnya dalam menghadapi kenyataan ini.


***

      Sesungguhnya Sherly tahu di mana Dery, ayah biologis Gandy, menetap dan bagaimana Dery memperoleh penghasilan. Ia sengaja memantau diam-diam semua kegiatan Dery dari berbagai sumber, termasuk kepolisian. Ia memiliki beberapa teman di kepolisian yang dulu pernah menggerebeknya tengah teler dalam sebuah pesta narkoba. Daripada memusuhi polisi yang menjeratnya, ia lebih memilih untuk dekat dan menjalani konseling.


***

       Sebagai seorang ibu, ia sering menangis dan bertanya-tanya apa yang salah pada dirinya. Dan apakah ia telah menelantarkan Gandy, hingga anaknya menjadi terjerumus seperti ini. Dalam setiap shalatnya ia selalu memohon pada Allah, agar selalu dikuatkan hatinya supaya ia segera dapat menarik Gandy lagi ke dalam pelukannya dan mengembalikannya menjadi seseorang yang sehat seperti dulu. Namun ia pun sadar tidak mudah semua itu dilaksanakan, karena para pengedar tidak mau begitu saja kehilangan pelanggan potensial mereka.  Ancaman dan teror akan mendatanginya dan Gandy. Bahkan kemanapun mereka pindah, segera saja para pengedar itu tahu, dan Gandy akan tetap berada di bawah hasutan mereka. Ini bisa mencelakakan mereka berdua. Ia tak ingin Gandy over dosis dan menjadi junkis yang tak dapat lagi hidup dengan normal. Dan ia pun tak ingin mati karena dicelakai oleh para pengedar yang mengincar uangnya. Ia harus mengambil tindakan cepat dan tepat demi menyelamatkan nyawa mereka berdua.


      Setelah ia menceritakan masalah dan kemungkinan yang bakal terjadi pada dirinya dan Gandy pada Hendra, mereka berdua pun segera mendatangi kantor polisi dan melaporkan masalah mereka. Berbagai pertanyaan yang menyudutkan diajukan dan berlangsung berjam-jam hingga ia dan Hendra kelelahan. Akhirnya perjuangan mereka untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi pun disetujui, asalkan mereka bersedia mengumpulkan banyak informasi berkaitan dengan Gandy, teman pengedarnya serta tempat di mana mereka sering berkumpul. 


      Hari-hari menegangkan harus Sherly dan Hendra jalani. Kesulitan dalam mencari info, berpindah-pindahnya lokasi pertemuan, terror yang dialami di lapangan, ketegangan dan kelelahan mental mereka alami setiap hari selama beberapa bulan. Apalagi mereka tetap harus bekerja sebagaimana biasa, agar penghasilan tidak berkurang, mengingat biaya yang keluar saat ini begitu besar. 


      Adakalanya Sherly kehilangan arah, ia sering menangis sesenggukan sehabis shalat ataupun ketika ia sedang bersama Hendra. Kehadiran Hendra merupakan pelipur lara dan sosok yang membuatnya merasa terlindungi dan aman. Ia amat bergantung padanya. Ini membuatnya semakin yakin untuk melanjutkan hubungannya dengan Hendra. Mengenai penolakan Gandy dapat ia diskusikan nanti.


     Di saat-saat tenang, Sherly mengutarakan rencananya untuk pindah dari tempatnya tinggal sekarang. Ini demi keamanannya dan Gandy, juga Hendra dan keluarganya. Ia memilih tinggal di luar kota atau pindah ke luar negeri. Kantornya telah menawarinya promosi ke kantor pusat di Los Angeles. Dengan kejadian yang tengah menimpanya ia membulatkan tekad untuk menerima tawaran tersebut. Ternyata Hendra mendukung rencana tersebut, bahkan ia pun bersedia pindah menemaninya. Sudah lama tawaran untuk membuka cabang di kota tersebut datang, tapi ia tidak memiliki alasan kuat untuk melebarkan sayap usahanya hingga ke Amerika, walaupun kawasan Asia Tenggara telah ia rambah. Segera Hendra menyiapkan berbagai dokumen yang terkait dengan rencana tersebut. Ketika ia meminta persetujuan dan menjelaskan rencana pernikahannya dengan Sherly pada kedua anak gadisnya, tak disangka mereka berdua menyambut gembira maksud ayahnya. Mereka sama sekali tidak keberatan. Sherly merasa bahwa nasib baik tengah berpihak kepadanya. Ia begitu bersyukur dan gembira atas kemudahan yang ia peroleh disamping kesulitan yang tengah ia alami.


       Akhirnya kabar dari pihak berwajib datang juga, dijelaskan bahwa penyelidikan mereka terhadap kawanan pengedar narkoba yang bersangkutan dengan Gandy telah mencapai tahap akhir. Namun yang membuatnya seperti tersambar petir adalah, bahwa Dery-lah yang mengedarkan narkoba di kawasan sekitar rumah Sherly, dibantu oleh sejumlah anak buahnya. Rupanya Dery telah mampu melebarkan usaha kotornya hingga ke kawasan ini. Sherly merasa sesak napas, pandangannya berkunang-kunang. Terbayang olehnya semua penghinaan dan kesakitan yang Dery lakukan padanya sewaktu ia meminta pertanggung jawaban atas hasil perbuatan Dery. Kilasan peristiwa terlintas lagi ketika ia jatuh bangun berjuang demi mempertahankan harga diri dan untuk menghidupi sang cabang bayi dalam perutnya hingga Gandy lahir dan dewasa. Selama beberapa saat semua yang hadir di situ terdiam, memberi waktu pada Sherly untuk menumpahkan segala perasaannya. Setelah Sherly kembali tenang, polisi membeberkan semua rencana yang telah disusun untuk menggerebek mereka di lapangan. Sherly dan Hendra amat tegang mendengar kabar ini. Akhirnya perjuangan mereka tiba di detik terakhir. 


       Pada hari yang ditentukan, Sherly dan Hendra disarankan untuk menginap di tempat yang telah dipilih oleh pihak berwajib, ini demi keamanan dan keselamatan mereka dan memudahkan pekerjaan pihak berwajib. Mereka setuju dan segera melakukan berbagai persiapan dan memberitahukan sanak family masing-masing, bahwa mereka akan berlibur ke luar kota selama beberapa waktu. Kedua anak gadis Hendra ikut serta, bahkan para pembantu pun diajak, agar memperkecil kemungkinan bocornya rencana polisi.


       Di villa yang dimaksud telah berjaga satu regu polisi di halaman rumah, dan di dalam pun begitu. Suasana begitu menegangkan. Beberapa fasilitas komunikasi berjajar rapi di atas meja makan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan malam itu. Sherly dan Hendra sekeluarga tidak dibiarkan mendengarkan kegiatan tersebut. Mereka ditempatkan di sayap rumah terjauh agar tidak mendengar apa yang tengah terjadi di lapangan.


       Kejadian-kejadian menegangkan terjadi di lapangan. Serangan polisi pada tempat para pengedar dan pembeli narkoba berkumpul menyebabkan terjadinya baku tembak dan teriakan-teriakan yang mengerikan ketika para pengedar atau pembeli tersebut tertembak anggota badannya. Setelah terjadi perlawanan yang cukup sengit, serangan malam itu dimenangkan oleh polisi. Segera semua tersangka dimasukan ke dalam mobil, dan dibawa ke markas polisi.

               
        Semalaman  mereka  tidak  dapat  tidur, ketegangan  mewarnai  wajah  mereka. Bahkan  hampir  setiap beberapa menit satu per satu pergi ke kamar mandi karena tidak dapat menahan ketegangan. 

Akhirnya, keesokkan harinya mereka mendapat kabar bahwa penggerebekan berlangsung lancar dan sukses. Gandy tidak terluka sedikitpun, dan semua pengedar dan pembeli yang ada di tempat kejadian perkara dapat ditangkap dan sekarang sedang diinterogasi polisi.


      Sherly menangis gembira, segala ketakutan dan kekhawatirannya selama ini seperti terangkat dari bahunya, segera ia mendirikan shalat dan bersujud penuh rasa syukur atas kemudahan yang ia dapatkan setelah perjuangan yang demikian berat selama berbulan-bulan dan menempatkan semua orang yang dekat dengannya dalam bahaya. Ia kini dapat membayangkan bagaimana ia dapat merengkuh Gandy lagi ke dalam pelukannya dan segera menempatkannya dalam karantina agar Gandy sembuh total dan menjauhkannya dari tempat dan teman-teman yang telah menjerumuskannya. 


     Ia berharap setelah proses penyembuhan Gandy, ia berhasil menyamakan pendapat mengenai pernikahannya dengan Hendra pada anaknya itu. Juga berharap Gandy setuju untuk segera pindah ke Los Angeles selama beberapa tahun hingga ia benar-benar yakin bahwa Gandy telah terlepas dari jeratan para junkis. Sherly tak dapat menahan airmatanya, ketika ia mengingat bagaimana perubahan fisik pada Gandy akibat mengkonsumsi narkoba. Anak yang diharapkannya begitu menderita akibat dampak narkoba. Ia berharap Allah berkenan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka berdua, dan diberi kemudahan dalam menjalani dan melewati semua ujian hidup yang menimpa mereka. Puji syukur pun dilafalkan Sherly pada Allah atas segala nikmat yang telah mereka terima selama ini, dan berdoa agar pernikahannya dengan Hendra berlangsung lancer dan ketiga anak mereka dapat rukun dalam sebuah keluarga.

               

               

Sketsaku


MENEMANIMU, MI...



“Selamat pagi, Mi…”, sapaku sambil membawa baki berisi secangkir teh manis untuk  Mami, satu mug teh untukku serta sepiring kue cake pisang yang sudah membuatku menelan air liur dari tadi. “Enak nggak tidurnya semalam ? Mimpi apa, Mi ?” Kuletakkan baki di atas meja riasnya.
            
       Mami memandangku tersenyum kecil, tangannya menggapai ke udara, kuraih kedua tangannya, membantunya duduk. Sambil mendorong tubuhnya untuk duduk, Ia berbisik lirih “Bismillaahir rahmaanir rahiim”.

            Aku menahan tubuhnya agar Ia nyaman, tak bisa kutarik kedua lengannya, karena ketika aku pernah melakukannya, Ia memekik sakit… nyeri pada kedua persendian bahunya. Tuhan…, betapa aku mencintainya … Jangan biarkan kesakitan terus melandanya…, doaku dalam hati.

            “Mimpi kamu, Yan…, masih kecil nari di atas panggung, lucu deh…”, jawab Mami setelah berhasil duduk. Tangannya mulai mengambil serbet makan. Ibuku ini sangat rapi dan bersih. Ritualnya banyak sebelum ia memulai menyantap makanan dan minumannya.

Pertama-tama, setelah Ia berhasil duduk dari posisi berbaringnya, Ia akan menyelipkan guling di bawah paha kanannya agar tubuhnya seimbang. Oestophorosys menyebabkan tulang punggungnya bengkok ke kiri, menekan lambung dan usus besarnya, membuatnya tidak mampu menampung banyak makanan dan sulit untuk buang air kecil dan besar. Guling harus berada di sekitarnya berbaring, agar mudah teraih ketika Ia duduk, yang akan membuat punggungnya terasa nyaman karena posisi tubuhnya sudah sejajar.

            Kedua, setelah nyaman dengan posisinya, Ia akan mengambil serbet makan yang diletakkan di atas tempat tisu di ujung meja riasnya. Tempat strategis untuk meletakkan makanan dan barang lain agar  mudah dijangkau. Baki berisi sarapan paginya itu harus berada di di sana. Dengan gerakan lambat dan lembut Ia mengibaskan serbet makannya lalu  ditebarkan di pangkuannya.

            Ketiga, Ia menyiapkan beberapa lembaran tisu di sebelah kirinya, agar tidak repot bolak balik menarik tisu dari kotaknya. Kemudian, Ia membereskan kantong plastik hitam yang menggantung dan sengaja Ia tempatkan di antara meja rias dengan tepi tempat tidur, itupun agar Ia mudah untuk membuang kotoran apapun ataupun serpihan sisa makanan yang tidak bisa tertelan. Mami memakai gigi palsu hanya untuk berbincang dengan tamu atau bila Ia mengunyah makanan yang renyah atau cukup keras baginya. Seperti kerupuk, kacang-kacangan, daging sapi atau ayam, udang atau nasi kuning dan nasi uduk. Ia masih menyukai jenis makanan itu, walaupun harus lebih lama mengunyahnya. Sedangkan menu tetapnya adalah bubur nasi yang lembut sekali dan lauk yang telah diblender atau diiris lembut. Itu pun dengan porsi yang amat ‘sedikit’.

            Setelah semuanya rapi dan berada di tempat yang benar, Ia memintaku untuk mengucurkan air dari botol aqua yang berjajar rapi di meja riasnya, ke dalam baskom plastik untuk mencuci tangan. Merasa nyaman telah mengerjakan semua ritualnya, maka Mami pun memulai sarapan paginya.

            “Kamu enak ngga tidurnya ? Mimpi apa ?”, tanyanya.

          Kutarik bangku meja rias mendekatinya, dan duduk di hadapannya. “Enak… Yaa… seperti biasa aku baru bisa tidur setelah jam satu malam, itu pun dipaksa, Mi… Kalo ngga, yaa… ngga tidur lagi sampe nanti jam 6…”, jawabku sambil tersenyum. Kebiasaan ‘ngalong’ku ini memang sering menyusahkan, terutama bila aku menginap. Karena idealnya jam tidur manusia kan, dari jam sembilan malam sampai jam setengah lima pagi. Tapi tidak demikian denganku. Tidur malamku dimulai jam tiga dini hari, bangun untuk shalat subuh jam lima, lalu tidur lagi hingga jam sembilan atau sepuluh pagi. “Menyusahkan ya, kamu ini, Yan …”, begitu kakakku berkata melihat kebiasaan tidurku yang ‘ajaib’. Tapi apa boleh buat, duniaku sudah jungkir balik sejak SMP, kok ngga ada yang nyadar, ya?

            Mami meraih kuping cangkir tehnya dengan hati-hati, kubantu sedikit agar cepat mencapai pangkuannya. Lalu aku pun mengambil mug-ku sendiri. Sesaat kami menikmati air teh yang menghangatkan kerongkongan kami, menghirup harum teh, cuping hidung kami mengembang. Nikmaat…

            Kulirik Ibuku dengan sayang. Usianya 83 tahun, sudah sangat lanjut. Dengan rambut pendek ikal beruban dan keriput memenuhi wajahnya, namun aura yang keluar adalah keikhlasan dan ketabahan. Tubuhnya sudah tidak mampu untuk digerakkan. Namun tekadnya masih besar untuk tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Makan dan minum dengan normal. Mandi sekali sehari setiap pagi jam sepuluh, walaupun saking lelahnya duduk di atas kursi plastik dan mengangkat gayung untuk menyiramkan air ke tubuhnya, Ia seringkali bersandar di pinggiran bak mandi, dan menarik napas pendek-pendek. Bronchitis menahun telah menggerogoti paru-paru tuanya. Suster yang merawatnya selalu berjaga menahan berat tubuhnya agar tidak melorot ke lantai kamar mandi. 

Sebetulnya Ibuku sangat menikmati ketika dinginnya air membasahi tubuhnya, namun minggu-minggu terakhir ini tenaganya entah melayang kemana… Napasnya tidak lagi panjang, tangannya tidak lagi kuat mengangkat gayung air, punggungnya tidak lagi tegak menjaga keseimbangannya…

            “Mami cape banget, Teng”, bisiknya lirih pada susternya yang dipanggilnya Uteng. Ketika memakai pakaian pun Ia kerap berkata pelan ,“Mami pengen pulang, kangen sama Papi yang udah duluan… Kapan ya… Mami dijemput ? Mami udah ngga tahan…”

            Kalau sudah begitu, aku, kakak perempuanku dan suster hanya mampu mengucapkan kata-kata yang menghibur dan menyemangatinya untuk bertahan sedikit lagi dan terus beribadah agar Allah mendengar semua harapannya.

            “Mami senang kamu nemenin dan tinggal di sini sekarang. Walaupun ada suster, tapi kan dia hanya sampai jam dua belas siang, terus pulang. Jarang ngajak ngobrol Mami. Kalo malam pun Mami nggak ada yang mengurus dan ngajak ngobrol. Mami kan juga susah tidur. Untung kamu kalo tidur malem, Yan. Jadi ada yang nemenin. Terus, kalo Mami butuh ini butuh itu, kamu cepet dateng ke kamar. Ngga enak kalo panggil Mba, Yan… Dia sudah punya urusan sendiri dengan cateringnya kaan”, kata Mami sambil mengambil sepotong cake pisang yang bikin ngiler itu. Gerakannya lambat dan lembut. “Kuenya enak, siapa yang beli, Yan?”

            “Ooo… itu dari Oom Sam, dari Bandung. Tadi malam ke sini, ketemu mba Mia, mau pesen catering untuk  menikahkan anak laki-lakinya yang kedua, Mi. Itu lho, Rangga, yang kerja di Asuransi. Kebetulan pacarnya Rangga tinggal di Bekasi, jadi nggak sulit kan. Dekat dengan mba Mia. Jadi kalo mau tanya-tanya menu dan harga gampang. Iya Mi, kuenya enak”, kataku sambil mencaplok sepotongan besar cake ke dalam mulut. Hahaha… doyan apa laper… Aku tertawa ketika kulirik Mami, potongan kuenya nyaris utuh, karena Ia mengunyahnya dengan lambat dan lembut.

            “Ha…ha…ha…, Mi…, aku sudah habis satu potong. Kalo begini caranya, Mami baru makan sepotong, aku sudah 4. Ha…ha…ha…”, candaku.

            “Dasar gembul”, olok Ibuku. Ia terkekeh-kekeh… Lalu kami mengobrol panjang lebar. Mendengarkan cerita masa lalu Mami…, karena rupanya memori para manula seusia Ibuku, memang menjadi terbatas hanya pada masa-masa lampau saat mereka masih belia, sehat, segar, kuat dan cantik serta ganteng. Saling pikat, lalu jatuh hati, pendekatan, berkarir, pacaran, ditaksir yang lain, menikah dan menjalani hidup berumah tangga. Mengingat kisah sedih, gembira, tragis, menyesakkan, bangga membuat kami kadang berbisik, tertawa tertahan, malah bisa terbahak-bahak, atau tenggorokan tercekat dan lalu terisak lamaaa sekali.

            Sudah lama sekali Ibuku berharap bisa berkumpul lagi denganku. Untunglah kondisiku saat ini memungkinkan untuk menemaninya di usia renta. Mengurus Beliau, merawatnya dan menemaninya melewati waktu yang terasa lama dan membosankan tentunya karena harus berbaring sepanjang hari di tempat tidur. Tidak bisa dengan mudah berpindah tempat, juga harus selalu dalam keadaan bersih karena mengerjakan shalat lima waktu. Beribadah adalah kegiatan utama Ibuku sehari-hari, walaupun Ia lakukan dengan penuh keterbatasan. Seringkali kudapati Beliau dalam keadaan tertidur dengan mukena melingkari tubuh bagian atasnya. Ia sering meminta untuk dibangunkan agar Ia tahu shalat apa sebetulnya yang sedang Ia kerjakan. Tapi aku, kakakku atau susternya akan membiarkannya tertidur sesiang itu, karena Ia bisa semalaman terjaga.

            Kakakku tidak setelaten aku menemani Mami. Dia cepat emosi bila Mami bertanya sesuatu yang dia pikir seharusnya Beliau sudah mengerti jawabannya. Atau kakakku pikir sebaiknya Mami tidak membahas hal-hal yang bagi kakakku membuatnya ‘ribet’. Padahal, ibuku sering bilang padaku, Ia ingin terus mengikuti berita terakhir yang beredar di luar pintu kamarnya. Agar Ia tidak bosan dan tetap merasa ‘hidup’. Tapi memang ada benarnya kakakku, mengobrol dengannya  membutuhkan waktu dan konsentrasi, karena Ia tidak dapat langsung menanggapi apa yang diceritakan. Bahkan kami hampir selalu mengulang kembali cerita-cerita itu beberapa kali. 

            Rupanya bagi kakakku sekeluarga, kesabaran dan ketenanganku mampu mengatasi keterbatasan Ibuku. Sehingga Ia juga nyaman berlama-lama mengobrol denganku dan bahkan mengeluarkan semua harta benda pusaka nenek moyangnya padaku, berupa foto-foto jadulnya yang amat menarik bagiku… foto hitam putih dengan gaya klasik mereka, para pendahulu… Rata-rata mereka berfoto di studio, berdandan rapi lalu bergaya di depan kamera. Membandingkan dengan sekarang yang demikian mudahnya mengambil gambar di manapun berada… Dari bangun tidur, ketika nyawa belum kumpul, sampai sudah rapi dengan seragam sekolah, baju kerja ataupun gaun pesta… Hahaha… Luar biasa teknologi…. Ibuku terbengong-bengong ketika aku atau kakakku mengambil gambar Beliau dengan ponsel di atas pembaringannya dengan masih mengenakkan daster… Bisikan protes terdengar dari mulutnya. Dan kami tertawa-tawa saja sambil terus mengambil gambarnya…

            Untuk mengasah ingatannya, Ia sering memintaku untuk memandu atau membetulkan bacaan surat-surat pendek dari Juz’amma. Rupanya ingatannya masih cukup kuat untuk ukuran usianya. Bahkan beberapa surat panjang masih dilafalkannya dengan mudah tanpa jeda ! Aku saja belum sempat menghafal surat-surat itu… Hahaha… Susah nempel di ingatan… Lalu kami berdua juga sering sama-sama berdoa dan mengingat dzikir dan wirid yang sering kami lafalkan kapan pun ada kesempatan. Karena hubungan kami sangat dekat. Dulu ketika masih berusia lima puluh tahunan, saat Ia masih bisa pergi mengaji, sepulangnya dari masjid, biasanya beberapa ‘ilmu’ yang didapatnya hari itu didiskusikan denganku dan kami sama-sama mengamalkannya. Apakah itu doa-doa versi terbaru, dzikir dan wirid meminta rizki dan jodoh (itu buatku, hihihi), puasa di bulan ini dan itu dengan pahala sebesar ini dan itu, ataupun shalat-shalat sunat yang banyaaakk.. Saat itu, dalam sehari Ia bisa menjalankan shalat 45 rakaat ! Ckckck… bahkan sekarang pun, aku belum secanggih itu rasanya… Hahaha…

            Menemaninya di usia renta sudah sangat kuharapkan bisa kulakukan bertahun lalu. Namun ketika itu aku masih bersuami sehingga untuk bersamanya setiap waktu, berhari-hari lamanya pastilah tidak mungkin. Aku diuntungkan dengan status baruku sebagai single. Aku sangat menikmati saat-saat ini. Bercanda, tertawa, sesenggukan, terisak, marah-marah kecil, merajuk… kembali bersama Mami. Aku merasa waktunya tidak lama lagi. Menyesakkan bagiku, sangat. Itulah sebabnya kusediakan waktu dan diriku untuk bersamanya.

            Minggu itu Ibuku sakit flu dan sembelit. Sakit flu yang bagi kita, orang-orang yang lebih muda darinya tidaklah berat, tidak demikian dengannya. Ia kelihatan sangat sulit bernafas, bertumpuk-tumpuk bantal menyangga tubuhnya, agar memudahkannya  bernafas. Batuknya berat dan berdahak. Harus mengumpulkan tenaga maksimal dari tubuhnya yang renta bahkan hanya untuk batuk ! Kakakku segera membawanya ke dokter keluarga kami. Segera saja kami mengetahui fakta-fakta yang menyesakkan hati tentang kondisi kesehatan beliau. Paru-parunya telah banyak berlubang karena bronchitis yang diidapnya. Fungsi jantungnya kronis, lambungnya mengecil, ginjalnya hampir tidak berfungsi lagi, fungsi hati dalam kondisi mengkhawatirkan. Secara keseluruhan sesungguhnya Mami tidak lagi dalam keadaan sehat, tentunya diukur untuk orang seusia Beliau. 

            Kami semua shock dan sangat khawatir. Berapa lama lagikah ?

            Dokter tidak berani memberikan obat yang bagi kami orang muda  tidaklah terlalu berarti efeknya untuk organ tubuh. Tapi tidak begitu dengannya, bila dokter memberikan obat pilek yang ‘sedang’, pinggangmya bisa nyeri hebat karena ginjalnya bekerja keras. Kebayang ngga, sih ? Atau obat batuk paten yang ampuh bagi kami, akan membuat beliau tertidur dalam waktu lamaaa sekali dan sulit membuka mata. Akibatnya Ia tidak bisa makan atau minum, dan pastinya akan membuat keadaan bertambah parah. Fuih... Untungnya dokter bersedia dipanggil bila terjadi sesuatu pada Mami. Dipilih obat flu dan batuk yang sangat ringan, bila terjadi diare atau sembelit karena efek obat atau keadaan lainnya, kami harus segera menghubungi dokter kami itu. Karena kalau tidak …

            Selama seminggu- hampir dua minggu, aku menjadi suster handal untuknya. Dengan diare dan sembelit sekaligus yang amat merepotkan, karena saking bersihnya, Mami melakukan kegiatan bersih-bersih sendiri. Yang tahulah akibatnya… keadaan justru sebaliknya ! Apalagi kelelahan karena obat tidur dan sesak napas. Alhasil, aku merangkap jadi petugas kebersihan selama beberapa hari… Kadang Beliau jadi ngga enak hati dan malu, tapi kujelaskan bahwa ini sudah menjadi tugasku untuknya. Duulluu… aku yang dirawat, dimandikan dan disayang olehnya. Sekarang inilah saatnya aku mengabdikan diriku untuknya. Hilang sudah rasa jijik dan mual, lenyap pula bebauan yang menyengat… Terbayang di mataku kasih sayangnya  padaku selama hidupnya… Sering Ia mencoba menghitung pahalaku karena merawatnya, kubilang padanya, bahwa apa yang kulakukan tidak ada seujung jaripun dari apa yang telah Ia lakukan seumur hidupnya untukku ! Tak bisa kubayangkan seberapa tinggi, lebar dan dalam ukuran yang cukup untuk menggambarkan kasih sayang dan cinta seorang Ibu pada anaknya… 

Rasanya hari-hari ini tidak cukup bagiku untuk melimpahkan apa yang kurasa, menumpahkan apa yang kusimpan… Waktunya tinggal sedikit ! Apalagikah yang bisa kulakukan ?

Namun Tuhan menunjukkan kuasaNya. Aku tak diberi kesempatan untuk lebih lama bersamanya. Sebulan sebelum kepergiannya, aku harus pergi dari rumah kakakku, yang artinya aku harus berpisah darinya  dan tak tahu kapan bisa melihatnya lagi. 

Dan benar saja, sebulan setelah  kepergianku, Mami  berpulang ke Rahmatullah. Air mataku serasa seperti basa-basi, karena kepedihan yang tidak tertahankan. Tapi aku sempat menemaninya sesaat sebelum Ia menghembuskan napas terakhirnya. Saudara-saudaraku bergumam, “Mami nunggu kamu, Yan…”

Hatiku terasa membeku dan kebal… Tidak dapat merasakan apapun. Dunia terasa sempit namun luas secara bersamaan. Pikiranku buntu. Aku bernapas tapi tidak dapat merasakan detak jantungku sendiri! Seakan perasaanku terkotakkan dalam waktu. Diam, beku dan dingin.

Selamat jalan, Mi… Aku menghormatimu, menghargaimu, menyayangimu… Andai aku bisa menguraikan semua emosi untuk kutitipkan pada malaikat yang menjemputmu…. Andai aku bisa mengulur waktu lebih lama agar bisa kuceritakan isi hatiku padamu, Mi… Andai aku bisa ikut bersamamu dan mengabdikan hidupku untukmu tanpa ada orang lain di sekitar kita …. Andai…. Mi…

Aku mohon maaf atas semua perbuatanku yang mungkin membuatmu marah…, kesal… dan tidak tahan denganku … Aku mohon maaf atas segala keterbatasanku yang membuatku tak dapat menyediakan waktu dan kasihku untuk bisa bersamamu… Aku mohon maaf atas kemarahanku pada situasi antara kita dengan orang-orang sekitar…. Miii ….. Aku mohon maaaaaff…

Huhuhu…. Aku hanya manusia biasa… yang sering tak bisa berbuat banyak untukmu… Maafkan, aku Mi…. Kulepas kepergiannya dengan airmata yang terasa tertelan ke tenggorokan. Tak ada kata-kata yang keluar yang bisa mengungkapkan rasaku hari itu… Selamat jalan, Ibu… Mami… Berbahagialah… Karena sebentar lagi Papi akan ada bersamamu, menemanimu dan membahagiakanmu di sana… Selamat jalan, Mi…  Jemput aku ketika kau ingin aku ada bersamamu… Jangan lupakan anakmu, Mi…. Selamat jalan…. Semoga Allah akan selalu melindungimu … dan memberimu tempat yang terindah di samping Papi di sana…. Aamiin.