“Selamat
pagi, Mi…”, sapaku sambil membawa baki berisi secangkir teh manis untuk Mami, satu mug teh untukku serta sepiring kue
cake pisang yang sudah membuatku menelan air liur dari tadi. “Enak nggak
tidurnya semalam ? Mimpi apa, Mi ?” Kuletakkan baki di atas meja riasnya.
Mami memandangku tersenyum kecil,
tangannya menggapai ke udara, kuraih kedua tangannya, membantunya duduk. Sambil
mendorong tubuhnya untuk duduk, Ia berbisik lirih “Bismillaahir rahmaanir
rahiim”.
Aku menahan tubuhnya agar Ia nyaman,
tak bisa kutarik kedua lengannya, karena ketika aku pernah melakukannya, Ia
memekik sakit… nyeri pada kedua persendian bahunya. Tuhan…, betapa aku
mencintainya … Jangan biarkan kesakitan terus melandanya…, doaku dalam hati.
“Mimpi kamu, Yan…, masih kecil nari
di atas panggung, lucu deh…”, jawab Mami setelah berhasil duduk. Tangannya
mulai mengambil serbet makan. Ibuku ini sangat rapi dan bersih. Ritualnya
banyak sebelum ia memulai menyantap makanan dan minumannya.
Pertama-tama,
setelah Ia berhasil duduk dari posisi berbaringnya, Ia akan menyelipkan guling
di bawah paha kanannya agar tubuhnya seimbang. Oestophorosys menyebabkan tulang
punggungnya bengkok ke kiri, menekan lambung dan usus besarnya, membuatnya
tidak mampu menampung banyak makanan dan sulit untuk buang air kecil dan besar.
Guling harus berada di sekitarnya berbaring, agar mudah teraih ketika Ia duduk,
yang akan membuat punggungnya terasa nyaman karena posisi tubuhnya sudah
sejajar.
Kedua, setelah nyaman dengan
posisinya, Ia akan mengambil serbet makan yang diletakkan di atas tempat tisu
di ujung meja riasnya. Tempat strategis untuk meletakkan makanan dan barang
lain agar mudah dijangkau. Baki berisi
sarapan paginya itu harus berada di di sana. Dengan gerakan lambat dan lembut
Ia mengibaskan serbet makannya lalu
ditebarkan di pangkuannya.
Ketiga, Ia menyiapkan beberapa
lembaran tisu di sebelah kirinya, agar tidak repot bolak balik menarik tisu
dari kotaknya. Kemudian, Ia membereskan kantong plastik hitam yang menggantung
dan sengaja Ia tempatkan di antara meja rias dengan tepi tempat tidur, itupun
agar Ia mudah untuk membuang kotoran apapun ataupun serpihan sisa makanan yang
tidak bisa tertelan. Mami memakai gigi palsu hanya untuk berbincang dengan tamu
atau bila Ia mengunyah makanan yang renyah atau cukup keras baginya. Seperti
kerupuk, kacang-kacangan, daging sapi atau ayam, udang atau nasi kuning dan
nasi uduk. Ia masih menyukai jenis makanan itu, walaupun harus lebih lama
mengunyahnya. Sedangkan menu tetapnya adalah bubur nasi yang lembut sekali dan
lauk yang telah diblender atau diiris lembut. Itu pun dengan porsi yang amat
‘sedikit’.
Setelah semuanya rapi dan berada di
tempat yang benar, Ia memintaku untuk mengucurkan air dari botol aqua yang
berjajar rapi di meja riasnya, ke dalam baskom plastik untuk mencuci tangan.
Merasa nyaman telah mengerjakan semua ritualnya, maka Mami pun memulai sarapan
paginya.
“Kamu enak ngga tidurnya ? Mimpi apa
?”, tanyanya.
Kutarik bangku meja rias
mendekatinya, dan duduk di hadapannya. “Enak… Yaa… seperti biasa aku baru bisa
tidur setelah jam satu malam, itu pun dipaksa, Mi… Kalo ngga, yaa… ngga tidur
lagi sampe nanti jam 6…”, jawabku sambil tersenyum. Kebiasaan ‘ngalong’ku ini
memang sering menyusahkan, terutama bila aku menginap. Karena idealnya jam
tidur manusia kan, dari jam sembilan malam sampai jam setengah lima pagi. Tapi
tidak demikian denganku. Tidur malamku dimulai jam tiga dini hari, bangun untuk
shalat subuh jam lima, lalu tidur lagi hingga jam sembilan atau sepuluh pagi.
“Menyusahkan ya, kamu ini, Yan …”, begitu kakakku berkata melihat kebiasaan
tidurku yang ‘ajaib’. Tapi apa boleh buat, duniaku sudah jungkir balik sejak
SMP, kok ngga ada yang nyadar, ya?
Mami meraih kuping cangkir tehnya
dengan hati-hati, kubantu sedikit agar cepat mencapai pangkuannya. Lalu aku pun
mengambil mug-ku sendiri. Sesaat kami menikmati air teh yang menghangatkan
kerongkongan kami, menghirup harum teh, cuping hidung kami mengembang. Nikmaat…
Kulirik Ibuku dengan sayang. Usianya
83 tahun, sudah sangat lanjut. Dengan rambut pendek ikal beruban dan keriput
memenuhi wajahnya, namun aura yang keluar adalah keikhlasan dan ketabahan.
Tubuhnya sudah tidak mampu untuk digerakkan. Namun tekadnya masih besar untuk
tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Makan dan minum dengan normal.
Mandi sekali sehari setiap pagi jam sepuluh, walaupun saking lelahnya duduk di
atas kursi plastik dan mengangkat gayung untuk menyiramkan air ke tubuhnya, Ia
seringkali bersandar di pinggiran bak mandi, dan menarik napas pendek-pendek.
Bronchitis menahun telah menggerogoti paru-paru tuanya. Suster yang merawatnya
selalu berjaga menahan berat tubuhnya agar tidak melorot ke lantai kamar mandi.
Sebetulnya
Ibuku sangat menikmati ketika dinginnya air membasahi tubuhnya, namun
minggu-minggu terakhir ini tenaganya entah melayang kemana… Napasnya tidak lagi
panjang, tangannya tidak lagi kuat mengangkat gayung air, punggungnya tidak
lagi tegak menjaga keseimbangannya…
“Mami cape banget, Teng”, bisiknya lirih
pada susternya yang dipanggilnya Uteng. Ketika memakai pakaian pun Ia kerap
berkata pelan ,“Mami pengen pulang, kangen sama Papi yang udah duluan… Kapan
ya… Mami dijemput ? Mami udah ngga tahan…”
Kalau sudah begitu, aku, kakak
perempuanku dan suster hanya mampu mengucapkan kata-kata yang menghibur dan
menyemangatinya untuk bertahan sedikit lagi dan terus beribadah agar Allah
mendengar semua harapannya.
“Mami senang kamu nemenin dan
tinggal di sini sekarang. Walaupun ada suster, tapi kan dia hanya sampai jam
dua belas siang, terus pulang. Jarang ngajak ngobrol Mami. Kalo malam pun Mami
nggak ada yang mengurus dan ngajak ngobrol. Mami kan juga susah tidur. Untung
kamu kalo tidur malem, Yan. Jadi ada yang nemenin. Terus, kalo Mami butuh ini
butuh itu, kamu cepet dateng ke kamar. Ngga enak kalo panggil Mba, Yan… Dia
sudah punya urusan sendiri dengan cateringnya kaan”, kata Mami sambil mengambil
sepotong cake pisang yang bikin ngiler itu. Gerakannya lambat dan lembut.
“Kuenya enak, siapa yang beli, Yan?”
“Ooo… itu dari Oom Sam, dari
Bandung. Tadi malam ke sini, ketemu mba Mia, mau pesen catering untuk menikahkan anak laki-lakinya yang kedua, Mi.
Itu lho, Rangga, yang kerja di Asuransi. Kebetulan pacarnya Rangga tinggal di
Bekasi, jadi nggak sulit kan. Dekat dengan mba Mia. Jadi kalo mau tanya-tanya
menu dan harga gampang. Iya Mi, kuenya enak”, kataku sambil mencaplok
sepotongan besar cake ke dalam mulut. Hahaha… doyan apa laper… Aku tertawa
ketika kulirik Mami, potongan kuenya nyaris utuh, karena Ia mengunyahnya dengan
lambat dan lembut.
“Ha…ha…ha…, Mi…, aku sudah habis
satu potong. Kalo begini caranya, Mami baru makan sepotong, aku sudah 4.
Ha…ha…ha…”, candaku.
“Dasar gembul”, olok Ibuku. Ia
terkekeh-kekeh… Lalu kami mengobrol panjang lebar. Mendengarkan cerita masa
lalu Mami…, karena rupanya memori para manula seusia Ibuku, memang menjadi
terbatas hanya pada masa-masa lampau saat mereka masih belia, sehat, segar,
kuat dan cantik serta ganteng. Saling pikat, lalu jatuh hati, pendekatan,
berkarir, pacaran, ditaksir yang lain, menikah dan menjalani hidup berumah
tangga. Mengingat kisah sedih, gembira, tragis, menyesakkan, bangga membuat
kami kadang berbisik, tertawa tertahan, malah bisa terbahak-bahak, atau
tenggorokan tercekat dan lalu terisak lamaaa sekali.
Sudah lama sekali Ibuku berharap
bisa berkumpul lagi denganku. Untunglah kondisiku saat ini memungkinkan untuk
menemaninya di usia renta. Mengurus Beliau, merawatnya dan menemaninya melewati
waktu yang terasa lama dan membosankan tentunya karena harus berbaring
sepanjang hari di tempat tidur. Tidak bisa dengan mudah berpindah tempat, juga
harus selalu dalam keadaan bersih karena mengerjakan shalat lima waktu.
Beribadah adalah kegiatan utama Ibuku sehari-hari, walaupun Ia lakukan dengan
penuh keterbatasan. Seringkali kudapati Beliau dalam keadaan tertidur dengan
mukena melingkari tubuh bagian atasnya. Ia sering meminta untuk dibangunkan
agar Ia tahu shalat apa sebetulnya yang sedang Ia kerjakan. Tapi aku, kakakku
atau susternya akan membiarkannya tertidur sesiang itu, karena Ia bisa
semalaman terjaga.
Kakakku tidak setelaten aku menemani
Mami. Dia cepat emosi bila Mami bertanya sesuatu yang dia pikir seharusnya Beliau
sudah mengerti jawabannya. Atau kakakku pikir sebaiknya Mami tidak membahas hal-hal
yang bagi kakakku membuatnya ‘ribet’. Padahal, ibuku sering bilang padaku, Ia
ingin terus mengikuti berita terakhir yang beredar di luar pintu kamarnya. Agar
Ia tidak bosan dan tetap merasa ‘hidup’. Tapi memang ada benarnya kakakku,
mengobrol dengannya membutuhkan waktu
dan konsentrasi, karena Ia tidak dapat langsung menanggapi apa yang
diceritakan. Bahkan kami hampir selalu mengulang kembali cerita-cerita itu
beberapa kali.
Rupanya bagi kakakku sekeluarga,
kesabaran dan ketenanganku mampu mengatasi keterbatasan Ibuku. Sehingga Ia juga
nyaman berlama-lama mengobrol denganku dan bahkan mengeluarkan semua harta
benda pusaka nenek moyangnya padaku, berupa foto-foto jadulnya yang amat
menarik bagiku… foto hitam putih dengan gaya klasik mereka, para pendahulu…
Rata-rata mereka berfoto di studio, berdandan rapi lalu bergaya di depan
kamera. Membandingkan dengan sekarang yang demikian mudahnya mengambil gambar
di manapun berada… Dari bangun tidur, ketika nyawa belum kumpul, sampai sudah
rapi dengan seragam sekolah, baju kerja ataupun gaun pesta… Hahaha… Luar biasa
teknologi…. Ibuku terbengong-bengong ketika aku atau kakakku mengambil gambar Beliau
dengan ponsel di atas pembaringannya dengan masih mengenakkan daster… Bisikan
protes terdengar dari mulutnya. Dan kami tertawa-tawa saja sambil terus
mengambil gambarnya…
Untuk mengasah ingatannya, Ia sering
memintaku untuk memandu atau membetulkan bacaan surat-surat pendek dari
Juz’amma. Rupanya ingatannya masih cukup kuat untuk ukuran usianya. Bahkan
beberapa surat panjang masih dilafalkannya dengan mudah tanpa jeda ! Aku saja
belum sempat menghafal surat-surat itu… Hahaha… Susah nempel di ingatan… Lalu
kami berdua juga sering sama-sama berdoa dan mengingat dzikir dan wirid yang
sering kami lafalkan kapan pun ada kesempatan. Karena hubungan kami sangat
dekat. Dulu ketika masih berusia lima puluh tahunan, saat Ia masih bisa pergi
mengaji, sepulangnya dari masjid,
biasanya beberapa ‘ilmu’ yang didapatnya hari itu didiskusikan denganku dan
kami sama-sama mengamalkannya. Apakah itu doa-doa versi terbaru, dzikir dan
wirid meminta rizki dan jodoh (itu buatku, hihihi), puasa di bulan ini dan itu
dengan pahala sebesar ini dan itu, ataupun shalat-shalat sunat yang banyaaakk..
Saat itu, dalam sehari Ia bisa menjalankan shalat 45 rakaat ! Ckckck… bahkan
sekarang pun, aku belum secanggih itu rasanya… Hahaha…
Menemaninya di usia renta sudah
sangat kuharapkan bisa kulakukan bertahun lalu. Namun ketika itu aku masih bersuami
sehingga untuk bersamanya setiap waktu, berhari-hari lamanya pastilah tidak
mungkin. Aku diuntungkan dengan status baruku sebagai single. Aku sangat menikmati saat-saat ini.
Bercanda, tertawa, sesenggukan, terisak, marah-marah kecil, merajuk… kembali
bersama Mami. Aku merasa waktunya tidak lama lagi. Menyesakkan bagiku, sangat.
Itulah sebabnya kusediakan waktu dan diriku untuk bersamanya.
Minggu itu Ibuku sakit flu dan
sembelit. Sakit flu yang bagi kita, orang-orang yang lebih muda darinya
tidaklah berat, tidak demikian dengannya. Ia kelihatan sangat sulit bernafas,
bertumpuk-tumpuk bantal menyangga tubuhnya, agar memudahkannya bernafas. Batuknya berat dan berdahak. Harus
mengumpulkan tenaga maksimal dari tubuhnya yang renta bahkan hanya untuk batuk
! Kakakku segera membawanya ke dokter keluarga kami. Segera saja kami
mengetahui fakta-fakta yang menyesakkan hati tentang kondisi kesehatan beliau.
Paru-parunya telah banyak berlubang karena bronchitis yang diidapnya. Fungsi
jantungnya kronis, lambungnya mengecil, ginjalnya hampir tidak berfungsi lagi,
fungsi hati dalam kondisi mengkhawatirkan. Secara keseluruhan sesungguhnya Mami
tidak lagi dalam keadaan sehat, tentunya diukur untuk orang seusia Beliau.
Kami semua shock dan sangat
khawatir. Berapa lama lagikah ?
Dokter tidak berani memberikan obat
yang bagi kami orang muda tidaklah
terlalu berarti efeknya untuk organ tubuh. Tapi tidak begitu dengannya, bila
dokter memberikan obat pilek yang ‘sedang’, pinggangmya bisa nyeri hebat karena
ginjalnya bekerja keras. Kebayang ngga, sih ? Atau obat batuk paten yang ampuh
bagi kami, akan membuat beliau tertidur dalam waktu lamaaa sekali dan sulit
membuka mata. Akibatnya Ia tidak bisa makan atau minum, dan pastinya akan
membuat keadaan bertambah parah. Fuih... Untungnya dokter bersedia dipanggil bila
terjadi sesuatu pada Mami. Dipilih obat flu dan batuk yang sangat ringan, bila
terjadi diare atau sembelit karena efek obat atau keadaan lainnya, kami harus
segera menghubungi dokter kami itu. Karena kalau tidak …
Selama seminggu- hampir dua minggu,
aku menjadi suster handal untuknya. Dengan diare dan sembelit sekaligus yang
amat merepotkan, karena saking bersihnya, Mami melakukan kegiatan bersih-bersih
sendiri. Yang tahulah akibatnya… keadaan justru sebaliknya ! Apalagi kelelahan karena
obat tidur dan sesak napas. Alhasil, aku merangkap jadi petugas kebersihan
selama beberapa hari… Kadang Beliau jadi ngga enak hati dan malu, tapi kujelaskan
bahwa ini sudah menjadi tugasku untuknya. Duulluu… aku yang dirawat, dimandikan
dan disayang olehnya. Sekarang inilah saatnya aku mengabdikan diriku untuknya.
Hilang sudah rasa jijik dan mual, lenyap pula bebauan yang menyengat… Terbayang
di mataku kasih sayangnya padaku selama
hidupnya… Sering Ia mencoba menghitung pahalaku karena merawatnya, kubilang
padanya, bahwa apa yang kulakukan tidak ada seujung jaripun dari apa yang telah
Ia lakukan seumur hidupnya untukku ! Tak bisa kubayangkan seberapa tinggi,
lebar dan dalam ukuran yang cukup untuk menggambarkan kasih sayang dan cinta
seorang Ibu pada anaknya…
Rasanya
hari-hari ini tidak cukup bagiku untuk melimpahkan apa yang kurasa, menumpahkan
apa yang kusimpan… Waktunya tinggal sedikit ! Apalagikah yang bisa kulakukan ?
Namun
Tuhan menunjukkan kuasaNya. Aku tak diberi kesempatan untuk lebih lama
bersamanya. Sebulan sebelum kepergiannya, aku harus pergi dari rumah kakakku,
yang artinya aku harus berpisah darinya dan tak tahu kapan bisa melihatnya lagi.
Dan
benar saja, sebulan setelah kepergianku,
Mami berpulang ke Rahmatullah. Air
mataku serasa seperti basa-basi, karena kepedihan yang tidak tertahankan. Tapi
aku sempat menemaninya sesaat sebelum Ia menghembuskan napas terakhirnya.
Saudara-saudaraku bergumam, “Mami nunggu kamu, Yan…”
Hatiku
terasa membeku dan kebal… Tidak dapat merasakan apapun. Dunia terasa sempit
namun luas secara bersamaan. Pikiranku buntu. Aku bernapas tapi tidak dapat
merasakan detak jantungku sendiri! Seakan perasaanku terkotakkan dalam waktu.
Diam, beku dan dingin.
Selamat
jalan, Mi… Aku menghormatimu, menghargaimu, menyayangimu… Andai aku bisa
menguraikan semua emosi untuk kutitipkan pada malaikat yang menjemputmu…. Andai
aku bisa mengulur waktu lebih lama agar bisa kuceritakan isi hatiku padamu, Mi…
Andai aku bisa ikut bersamamu dan mengabdikan hidupku untukmu tanpa ada orang
lain di sekitar kita …. Andai…. Mi…
Aku
mohon maaf atas semua perbuatanku yang mungkin membuatmu marah…, kesal… dan
tidak tahan denganku … Aku mohon maaf atas segala keterbatasanku yang membuatku
tak dapat menyediakan waktu dan kasihku untuk bisa bersamamu… Aku mohon maaf
atas kemarahanku pada situasi antara kita dengan orang-orang sekitar…. Miii …..
Aku mohon maaaaaff…
Huhuhu….
Aku hanya manusia biasa… yang sering tak bisa berbuat banyak untukmu… Maafkan,
aku Mi…. Kulepas kepergiannya dengan airmata yang terasa tertelan ke
tenggorokan. Tak ada kata-kata yang keluar yang bisa mengungkapkan rasaku hari
itu… Selamat jalan, Ibu… Mami… Berbahagialah… Karena sebentar lagi Papi akan
ada bersamamu, menemanimu dan membahagiakanmu di sana… Selamat jalan, Mi… Jemput aku ketika kau ingin aku ada
bersamamu… Jangan lupakan anakmu, Mi…. Selamat jalan…. Semoga Allah akan selalu
melindungimu … dan memberimu tempat yang terindah di samping Papi di sana…. Aamiin.